Depok Lama, Depok Baru

Minggu malam saya ke Stasiun Solo Balapan, untuk perjalanan ke Jakarta naik kereta Bima (21.10). Sampai di stasiun sekitar pk.20.45, saya masih kebagian menikmati keroncong live di stasiun. Wah…nyamleng tenan. 😀 Rencananya saya sehari saja di Jakarta untuk dua agenda di hari Senin (4 Feb 2008) : jadi reviewer di UI (10.30-11.00) dan ujian ulang mahasiswa saya jur. Mechatronics di SGU Serpong(14.00-15.50). Malamnya, balik lagi ke Solo pakai Argo Lawu pk.20.00.

Sekitar 21.10 kereta datang. Saya naik dan segera istirahat. Keesokan harinya, kereta saya tiba di Gambir sekitar pk. 07.30, terlambat sekitar 1 jam (seperti biasa). Karena mepetnya jadwal, saya langsung ke stasiun Gondangdia untuk mencari kereta yang akan berhenti di St. Pondok Cina. Saat beli tiket, saya tanya ke petugasnya, kereta mana yang berhenti di St.Pondok Cina. Petugas menyarankan ke saya, agar naik kereta Pakuan Ekspres pk. 08.19. Kereta tsb. akan berhenti di stasiun UI, stasiun Pondok Cina dan langsung menuju Bogor. Setelah membayar, saya segera menuju ke jalur yang ditunjukkan.

Sekitar pk.08.19, kereta tiba. Tapi ternyata kereta yang datang itu bukan Pakuan Ekspres, melainkan kereta “donko” ekonomi. Saya tunggu lagi kereta berikutnya. Sekitar pk.08.30 tiba kereta ekspres, tapi tidak ada penjelasan dari pengeras suara, ini kereta apa. Saya segera loncat ke dalam, dan tanya ke penumpang pertama yang terdekat. “Pak, ini apakah kereta pakuan ekspres ?” “Hah…iya” begitu jawabnya sambil agak cuek. Saya pun lega dan duduk. Kereta pun berjalan. Saya coba tanya ke orang lain, tapi dia pun kurang tahu pasti, hanya saja kereta itu menuju ke Depok. Wah, berabe nih. Tadi pun sebelum naik, saya disarankan lain orang agar duduk di gerbong depan, sehingga bisa minta ke masinis agar kereta distop saat sampai di stasiun Pondok Cina. Waduh….yang seperti ini nggak bakalan ada di Jepang : minta agar kereta dihentikan di stasiun yang dikehendaki. 😀

Kondektur datang dan memeriksa tiket kami. Nah, ini kesempatan untuk dapat penjelasan yang valid. Saya tanya ke pak kondektur, kalau mau turun di UI bagaimana caranya ? “Depok lama, Depok baru”. Hanya itu jawaban yang keluar ! Saya tercengang, dan mencoba memahami penjelasan yang tidak berupa kalimat utuh itu. Tapi kondektur sudah berjalan jauh memeriksa tiket penumpang yang lain.

Kondektur lewat lagi untuk kembali ke gerbong depan. Saya acungkan tangan dan hentikan beliau. “Pak, maaf tadi penjelasannya belum faham. Kalau mau ke UI, saya harus bagaimana ?” Beliau jawab lagi “Depok lama, Depok baru” ..waduh..peniiiing ! Jawaban koq nggak menjelaskan sama sekali. Teman sebelah saya tadi juga tanya, kalau ke Bogor harus bagaimana juga mendapat jawaban “Depok baru”. Mungkin difikirnya kami bisa faham dengan penjelasan singkat itu. Padahal saya tidak tahu : stasiun pondok Cina atau stasiun UI itu posisinya dimana ? Apakah sebelum ataukah sesudah stasiun Depok lama. Mengapa untuk saya beliau jawab “Depok Lama, Depok Baru”, dan untuk teman yang ke Bogor beliau jawab “Depok baru” saja. Kalau sudah di stasiun Depok Lama, saya harus naik apa untuk ke UI. Serba nggak jelas.

Saya coba telpon ke pak Heru, teman yang juga mengajar di UI. Beliau tertawa, memang begitulah di Indonesia, dik. Pak Heru bilang, walau kereta itu nanti tidak akan berhenti di stasiun UI atau Pondok Cina, biasanya masinisnya “merem” (memejamkan mata), dan berhenti sebentar di stasiun itu memberi kesempatan orang-orang untuk turun. Pintu hanya terbuka sebentar, jadi siap-siap loncat saja ! Perhatikan kalau sudah mulai lewat di Srengseng, Lenteng Agung, itu tandanya udah mau sampai UI, dik Anto mulai siap-siap saja.

Saya pun mulai memperhatikan stasiun-stasiun yang dilewati. Tapi itu pun tidak menolong. Tidak ada huruf yang besar dan jelas menunjukkan nama stasiun tersebut. Penjelasan lewat “halo-halo” nya kereta pun tidak ada sama sekali. Akhirnya saya pun tahu, kalau saya harus memperhatikan papan nama stasiun yang berada di depan/belakang stasiun. Itu lebih mudah daripada harus mencari nama stasiun yang tertulis di dalam peron.

Tak berapa lama stasiun UI pun kelihatan, tapi dilewati begitu saja. Demikian juga stasiun Pondok Cina. Ternyata kereta yang saya tumpangi ini bukan Pakuan Ekspres melainkan Depok Ekspres, yang berhenti di stasiun Depok lama dan Depok baru. Sampai di stasiun Depok Lama saya turun, dan mencari kereta ekonomi ke arah yang berlawanan. Akhirnya sampai juga saya di st. Pondok Cina. Medetashi..medetashi…

Barangkali di lain waktu saya perlu mematuhi saran teman saya tadi :

  1. Duduk di gerbong depan
  2. Minta ke kondektur saat sampai di stasiun tujuan, kereta berhenti sebentar untuk memberi kesempatan agar saya bisa turun di situ

Hal yang mungkin tidak pernah terbayang bagi orang yang tinggal di Jepang. Welcome to the jungle Indonesia ! He he he 😀

Sampai di UI saya sempat ngobrol sebentar dengan mas Rahmat Widyanto. Saya dikenalkan dengan Pak Bambang Widyatmoko (LIPI alumni Tokodai) yang juga menjadi reviewer. Pak Bambang diminta mas Rahmat agar mengantar saya ke SGU, sekalian saat pulang ke LIPI. Wah, alhamdulillah. Terbantu sekali rasanya. Ternyata pak Bambang sudah pernah ketemu dengan saya, dalam beberapa kali acara PPI. Kongres di Gifu (1997), dan beberapa kesempatan yang lain. Wah, malu deh…saya koq nggak ingat ya.

Hari itu saya hanya mereview satu penelitian saja yang dipresentasikan oleh Ibu Prof.Bela H. Widjaja. Wah, saya banyak belajar tentang semangat meneliti dari beliau. Walaupun sudah sepuh, tapi tetap semangat mempresentasikan sendiri riset yang beliau lakukan. Satu tauladan yang baik untuk saya ikuti. Usai mereview, saya ikut mobil pak Bambang ke Serpong.

Saya sampai di kampus SGU sekitar pk.12 siang. Masih ada waktu dua jam untuk sholat dan makan siang. Dari staff di administratif, saya baru tahu kalau yang ikut ujian ulang di mata kuliah saya ini terbilang cukup banyak hampir 50%. Tapi di SGU, ujian ulang masih lebih enak daripada saat saya mengajar di Chukyo Daigaku dulu. Kalau di chukyo dai, aturannya nilai maksimal ujian ulang adalah C. Kalau di SGU masih terbuka kemungkinan untuk mendapatkan A.

Di Chukyo dulu saya mengajar struktur data dan algoritma. Karena ini mata kuliah wajib, saya cukup ketat dalam memberikan evaluasi. Nilai akhir diperoleh dari

  1. mini test tiap kali pertemuan
  2. PR programming yang diberikan tiap kali pertemuan
  3. ujian mid (1 kali)
  4. ujian akhir

Nilai akhir diperoleh dari empat komponen tsb. dan tidak ada ujian ulang ! Pendapat saya, mata kuliah programming bukanlah matakuliah yang bisa dikuasai dalam waktu semalam. Jadi tidak ada gunanya mengadakan ujian ulang. Kesempatan untuk mendapatkan nilai sudah saya berikan cukup banyak lewat tugas dan mini test. Kalau tidak lulus, lebih baik siswa mengulang lagi mata kuliah tsb. di tahun berikutnya. Tugas saya adalah memotivasi siswa agar menguasai suatu ilmu, bukan memotivasi mereka agar meraih nilai yang baik. Belajar tidaklah semata untuk mendapatkan nilai yang baik, melainkan untuk mendapatkan ilmu. Senada dengan pesan sensei saya dulu saat kami mulai melakukan riset di lab. : “Riset itu dilakukan bukan (semata) untuk memenuhi syarat kelulusan”. Itu pesan yang ingin saya sampaikan kepada mereka. Dari beberapa kali mengajar, biasanya yang tidak lulus sekitar 20-30%. Termasuk di dalamnya mereka yang tidak mengikuti ujian, atau jumlah kehadiran tidak memenuhi syarat (minimal 2/3). Tata cara penilaian (termasuk mengadakan ujian ulang atau tidak) sepenuhnya otoritas dosen.

Aturan di SGU agak berbeda. Ujian mid (kuis) diharuskan, dan bisa lebih dari 1 kali. Nilai akhir diperoleh dengan cara memberikan bobot 40% terhadap rata-rata kuis, dan 60% terhadap nilai ujian akhir. Ujian ulang diwajibkan kepada mereka yang nilainya D (50-60) dan F (kurang dari 50), tapi diperbolehkan juga diikuti oleh mereka yang mendapat nilai B dan C. Hasil akhir diambil dari yang terbaik antara ujian akhir dan ujian ulang, sehingga kesempatan mendapat nilai A masih terbuka.

Selesai ujian, saya kembali ke Jakarta dan ke kantor (BPPT) terlebih dulu. Usai sholat Maghrib dan Isya, saya ke St.Gambir. Makan malam di Hoka-hoka bento dan pk. 20.00 dijemput kereta Argo Lawu untuk kembali ke Solo.

Iklan

Tentang Anto Satriyo Nugroho

My name is Anto Satriyo Nugroho. I am working as research scientist at Center for Information & Communication Technology, Agency for the Assessment & Application of Technology (PTIK-BPPT : Pusat Teknologi Informasi & Komunikasi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi). I obtained my doctoral degree (Dr.Eng) from Nagoya Institute of Technology, Japan in 2003. My office is located in Serpong, Tangerang Selatan City. My research is on pattern recognition and image processing with applied field of interests on biometrics identification & development of computer aided diagnosis for Malaria. Should you want to know further information on my academic works, please visit my professional site at http://asnugroho.net
Pos ini dipublikasikan di Indonesiaku. Tandai permalink.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s