Dear all,
Sekedar berbagai cerita, mengenai pengalaman mengirim paper. Suatu saat saya pernah mengerjakan penelitian berkolaborasi dengan peneliti bidang medis untuk topik cancer. Setelah penelitian yang saya lakukan selesai, mitra saya sangat bersemangat untuk men-submit paper kami ke jurnal. Nggak tanggung-tanggung, jurnal yang beliau pilih adalah NatGen alias Nature Genetics (saat tahun 2001-an, Impact Factor jurnal NatGen adalah 40, lebih besar daripada IF jurnal Nature sendiri). Sebenarnya saya tidak sreg, karena apa yang saya kerjakan terasa kurang gregetnya. Juga tidak ada terobosan di sisi metode komputasi yang saya pakai, sehingga sebenarnya saya sendiri kurang puas. Terlebih lagi saat itu saya ditaruh sebagai first author, padahal jurnal Nature sangat memperhatikan siapa yang menjadi first author, second author dan last author. Karena nama-nama itu menjadi “garansi” kualitas penelitian yang dilakukan (*1) . Selain itu jurnal kelompok Nature lazimnya hanya menerima penelitian yang menghasilkan terobosan signifikan di dunia science, bukan engineering. Tapi professor yang jadi mitra tetap bersemangat untuk mencoba mengirim ke NatGen. Di antara mereka memang banyak yang sudah punya publikasi di Nature & Science, sehingga menurut pandangan mereka, tak ada salahnya dicoba dengan mengirimkan ke jurnal-jurnal itu terlebih dahulu.
Setelah dikirim, seperti saya duga, hasilnya “gatot” (=gagal total) ….rejected. Untuk mengirimkan paper ke Nature, prosesnya memang agak lain. Paper yang diterima tidak semuanya langsung diberikan ke reviewer. Melainkan akan dievaluasi oleh editor terlebih dahulu. Hanya paper yang menurut pertimbangan editor layak di review, baru akan dikirim ke reviewer. (Walau demikian, jurnal-jurnal Nature, Science dan Cell ternyata masih juga “tembus” diakali peneliti yang mengirimkan hasil penelitian yang tidak jujur. Kasus yang terkenal adalah skandal Imanishi Kari dalam paper di jurnal Cell tahun 1986 yang melibatkan seorang Nobel Lauerete: David Baltimore, professor biologi di MIT )
Paper yang direject seringkali bukan dikarenakan isinya yang tidak layak dipublikasikan, melainkan karena cara penulisannya (cara menyajikan argumen) yang tidak baik. Karena itu direject-nya sebuah paper bukan berarti penelitian kita habis riwayatnya. Walau direject sekalipun, kalau paper itu bisa diperbaiki “cara penulisan”-nya, cara menyajikan argumennya, kita tetap berhak mengirimkan lagi ke jurnal tersebut, atau bisa juga ke jurnal yang lain. Salah satu nasehat sensei saya dulu: “Untuk menulis paper, kamu harus membaca dan mengkritisi setidaknya 40 paper terbaru di bidang itu. Memahami, mengkritisi dan mencari celah originality…begitu proses yang harus ditempuh dalam “membaca” sebuah paper. Baru setelah itu, kalau kau bisa menulis sesuatu yang dihasilkan dari pencarian originality tersebut, maka papermu akan sulit untuk ditolak”.
Walaupun demikian, tetap saja sebuah paper memiliki kemungkinan untuk ditolak. Ditolaknya sebuah paper kadang membuat kita shock dan semangat langsung drop. Apa obatnya ? Di salah satu tulisan Jepang, saya temukan saran sebagai berikut: “Kalau anda merasa shock dengan ditolaknya paper anda, obat paling mujarab adalah temuilah seorang professor, atau seorang peneliti yang sangat anda hormati kredibilitasnya. Tanyakan kepada beliau, apakah beliau pernah ditolak papernya ? Sejago apapun seorang peneliti, setidaknya sekali dua kali pastilah pernah papernya di tolak.” Begitu tips-nya untuk menghibur diri, agar tidak tenggelam dalam kesedihan. Karena jangankan kita, professor atau peneliti yang sangat kita hormati pun pernah mengalaminya.
Mari kita semarakkan atmosfer sains di Indonesia dengan karya-karya yang jujur dan bermanfaat baik kepada masyarakat maupun kepada sains itu sendiri. Gambarimasho !
Anto S. Nugroho (sarapan pagi dengan roti tawar dan teh tarik)
(*1) Satu hal yang berkesan saat itu adalah kejujuran peneliti Jepang. Karena jurnal Nature sangat memperhatikan siapa yang menjadi first, second dan last author, saya sampaikan ke Professor mitra, bahwa silakan saja peneliti yang menjadi mitra kami itu untuk ditulis sebagai first author. Yaitu yang sudah punya track record di dunia kedokteran/biologi. Tetapi mitra kami menolak, dan tetap menaruh saya -yang masih mahasiswa- sebagai first author. “Anda yang paling berkontribusi dalam penelitian ini, sehingga andalah yang harus menjadi first author”. Kejujuran & sportivitas ini yang mungkin sudah mulai langka kita temukan di Indonesia.
Terima kasih pak atas artikelnya,, sempat drop memang saat paper yang saya tulis direject. tapi setelah baca artikel bapak saya jadi semanggat lagi … đŸ™‚