Karakter anak yang sedang tumbuh sangat dipengaruhi oleh lingkungan pergaulan mereka. Orang tua perlu memperhatikan dengan siapa mereka bergaul, agar tidak terjebak ke lingkungan pergaulan yang salah. Puluhan tahun yang lalu, ketika pergaulan hanya terbatas pada siapa yang ditemui dalam keseharian, lebih mudah bagi orang tua untuk mengawasinya. Tetapi bagi mereka yang lahir di era digital (digital native), begitu lahir mereka telah berada di era internet. Era di mana komunikasi lewat dunia maya demikian bebas, lepas dari batasan dimensi ruang dan waktu. Apalagi ketika social media marak dipakai seperti sekarang. Anak-anak pun banyak yang sudah pandai memanfaatkan gadget untuk mengakses informasi, baik yang positif dan negatif. Lambat laun, anak-anak kita memiliki dunia digital-nya sendiri, di samping dunia analog dimana dia bergaul dengan orang tua dan teman-temannya. Karakter mereka tidak lagi ditentukan oleh pergaulan keseharian, tapi juga ditentukan oleh informasi dan pergaulan di dunia maya, yang kadang tidak selalu bisa dipantau oleh orang tua.
Orang tua perlu waspada, dan selalu update dengan perkembangan teknologi, agar bisa mengawal ketika anaknya mengakses dunia digital yang kadang liar. Salah satunya adalah dunia anime, dunia manga (dibaca: mangga. “man” : puluhan ribu/banyak “ga”: gambar). Waktu saya berada di Jepang, kalau makan di warung seringkali ada komik-komik untuk hiburan pengunjungnya. Kualitas gambarnya tidak sebagus lukisan R.A.Kosasih dengan komik Mahabharata-nya. Jarang saya melihat komik di Jepang dengan kualitas seperti itu. Tetapi, dalam adegan-adegan di komik itu, banyak visualisasi hubungan seksual yang relatif vulgar. Alat kelamin pria, dada wanita, dsb. dilukis ekstrem baik ukuran, maupun “cara pemanfaatan”-nya. Cara penyampaian seperti ini rasanya belum pernah saya temukan di komik-komik asli Indonesia zaman dulu. Di laboratorium kami dulu, teman-teman sering beli manga dan ditumpuk untuk bacaan kalau istirahat dari kesibukan riset. Tentunya yang ditumpuk bukan yang menampilkan visualisasi vulgar, karena nggak enak dengan Sensei.
Seiring dengan hadirnya dunia internet, akses terhadap komik & anime Jepang seperti itu jadi demikian mudah, bahkan oleh anak-anak. Mereka bisa akses dengan mudah lewat smartphone tanpa setahu orang tuanya. Tak heran jika mereka mungkin familiar dengan kata-kata yang jorok, menjurus seperti ML, Hentai dsb. Arus informasi susah dibendung, diblokirpun selalu ada “jalan tikus” untuk mengaksesnya. Apalagi informasi itu tidak sekedar teks, melainkan juga foto, video, game dsb. yang dikemas dengan menarik & menggoda. Tinggal bagaimana kita sebagai orang tua membantu mengawal dan membekali anak-anak kita dengan tuntunan yang baik. Orang tua tidak boleh ketinggalan zaman dan harus selalu update dengan teknologi , agar bisa sejauh mungkin “diam-diam memantau” komunikasi anak-anak kita.
Benteng terakhir adalah perhatian, komunikasi (orang tua sebagai teman), cinta kasih dan doa orang tua pada anaknya. Doa orang tua pada anak katanya “tak berdinding”, dan dikabulkan Allah SWT.
* Catatan renungan akhir pekan, setelah mengikuti rapat orang tua murid & guru di SMP Muhammadiyah PK *