Pagi ini saya ceritakan ke mahasiswa saya, bagaimana kerasnya dosen saya dulu membimbing skripsi S1 saya. Setelah beliau menjadi professor di perguruan tinggi lain, tambah ketat lagi dalam membimbing. Mahasiswa bimbingan beliau tidak bisa santai. Saat bimbingan, kalau ketahuan kurang menguasai ilmu dasar yang diperlukan untuk penelitiannya, maka akan dikeluarkan dari bimbingan, dan disuruh mengambil ulang mata kuliah tersebut. Dengan kata lain, kelulusannya mundur satu tahun. Tetapi di sisi lain, beliau memperlihatkan bagaimana sangat disiplin terhadap dirinya sendiri. Meja kerjanya berada satu ruangan dengan murid-murid bimbingannya. 親の背を見て子は育つ (baca : oya no se wo mite ko wa sodatsu), itu prinsip yang beliau pegang dalam membimbing. Arti peribahasa itu adalah “anak dididik dengan melihat punggung orang tuanya”. Anak dididik dengan melihat bagaimana orang tuanya bekerja keras. Jadi murid-muridnya akan melihat bagaimana beliau bekerja sangat keras, dan kadang-kadang mengalami shock, frustasi, down ketika kurang berhasil. Ini sangat penting, karena murid-murid itu akan melihat dan mendapat contoh bagaimana gurunya bisa bangkit dari keterpurukan. Dengan berada pada situasi seperti itu, murid akan banyak belajar dari gurunya. Bukan hanya ilmu terkait disiplin ilmu yg ditekuni, tetapi ilmu untuk hidup, bagaimana harus bersikap dan berjuang dalam hidup.
Saya pernah bersama-sama dosen lain membimbing seorang mhsw di Indonesia. Sayangnya di pertemuan pertama, pembimbing utama tsb. menyampaikan “Sekarang ini jaman internet, ya. Kita bisa komunikasi lewt internet dan tidak harus ketemu kalau bimbingan” …. hadeeeeh… saya langsung kehilangan respek di pertemuan pertama ! That is not the way I was educated. Saya tidak dididik dengan begitu.