First Author dalam Paper

Saat itu kami sedang menunggu hasil review paper yang telah disubmit ke Nature Genetics. Kami kontak ke kolaborator di Hokkaido Univ. “Pak, bolehkah penelitian kita disubmitkan ke international conference ?”. Jawab beliau “Jangan. Tunggu dulu hasil review dari Nature. Saya khawatir kalau disubmit ke tempat lain, nanti yang di Nature akan ditolak karena sudah bukan novel contribution lagi”. Demikian jawab beliau. Walaupun saya penulis pertama, dan beliau bukan pembimbing saya, tapi tema yang kami lakukan adalah bagian project bioinformatics di Hokkaido University. Karena untuk Nature, yang diperhatikan pertama kali adalah siapa first, second dan last author, awalnya saya menyampaikan ke beliau “Saya tidak harus jadi first author, Pak. Hasil diskusi dengan pembimbing saya, kami persilakan bapak menjadi first author, karena bapaklah yang merintis tema ini, dan punya track record di bidang yang kita kerjakan.” Tapi jawab beliau justru diluar dugaan “Nggak To. Harus kamu yang jadi first author. First author diberikan kepada yang paling banyak kontribusinya dalam suatu penelitian. Dalam riset ini, kamu yang paling banyak bekerja”. Akhirnya paper itu disubmit dengan saya sbg first author, beliau sbg second dan diikuti dengan tim kolaboator di Hokkaido maupun di institusi tempat saya belajar. Walaupun sebagai first author, tetapi untuk publikasi ke lain tempat, kami selalu minta izin ke Hokkaido sebagai pemilik tema maupun contact person for correspondence.

Posisi sbg first author memang sangat penting dan prestisius. Saya beruntung dibimbing oleh professor-professor yang fair dalam melakukan penelitian. Sehingga untuk penulisan paper, saya diberikan kesempatan sebagai first author. Ada beberapa rekan saya yang kurang beruntung, karena professor-nya selalu minta sebagai first author, padahal yang bekerja keras adalah muridnya. Saling menghormati kontribusi masing-masing adalah hal yang penting dalam penelitian. Beberapa kali saya melakukan kolaborasi, dan datanya atas kebaikan dan trust dari kolaboator diberikan ke saya. Data microarray, data handwriting character, data terapi hepatitis dsb. Walau demikian, saya tidak berani menggunakan data di atas untuk riset saya, tanpa seizin professor yang memberikan akses tsb. kepada saya. Trust itu mahal harganya. Karena itu sejak pulang ke Indonesia, saya memikirkan tema yang saya rintis sendiri, independen dari tema yang selama ini saya lakukan, agar saya punya kebebasan dalam melakukan penelitian. Perjalanan mencari tema itu cukup lama, sampai akhirnya saya sampai di 2 tema besar : malaria & biometrics. Saya buat roadmapnya, mana long term objectivenya dan mana yg short term. Dasarnya tetap pattern recognition, spesialisasi yg saya tekuni di Jepang.
Kembali ke urutan author, saya pernah diminta untuk menulis paper (invited) atas studi yg saya lakukan. Tetapi oleh society, diminta yang menjadi first author adalah pembimbing saya. Akhirnya paper tetap saya tulis walaupun agak sedih, karena hilang kesempatan sbg first author. Di luar dugaan, saat saya menghadap pembimbing untuk memberikan laporan akhir, beliau mengatakan ke saya : “To, urutan penulis ini harap dibalik. Kamu jadi yang pertama. Saya sudah tidak butuh jadi penulis pertama lagi”. Fairness. Itu yang diajarkan sensei kepada saya. Adil, walaupun kepada murid sendiri.
Selama ini saya berusaha menjalankan apa yang diajarkan guru-guru saya selama ini. Kepada murid-murid saya, saya selalu berikan kesempatan untuk jadi 1st author. Memang ada resiko saya akan mendapatkan nilai kredit yang rendah (karena sistem di Indonesia), atau nol, hilang sama sekali kesempatan mendapatkan nilai kredit. Bagi saya, hal itu tidak mengapa, karena tujuan saya menulis paper bukan untuk mengejar professorship, bukan untuk mendapatkan KUM atau nilai kredit. Tetapi saya menulis lebih karena tanggung jawab saya sbg scientist, dan juga hobby saya untuk belajar & berkomunikasi lewat tulisan. (Kemarin saya baru saja dengar, seorg doktor yang enggan menulis paper lagi karena peraturan yg ada membuat ybs kehilangan kesempatan menjadi professor. Dalam hati saya berkata, lho…emang bapak selama ini menulis paper hanya buat jadi professor ta ? ).
Selama memang kontribusinya besar, saya akan berusaha menjadikan murid saya 1st author. Kebahagiaan besar bagi seorang dosen jika melihat anak didiknya maju. Tapi pernah juga saya menuntut apa yang mestinya jadi hak saya. Misalnya di paper saya ttg terapi interferon yg diterbitkan di Springer, atas kesepakatan bersama, akhirnya permintaan saya disetujui : ditulis bhw penulis pertama dan penulis kedua berkontribusi sama besar dalam studi yg dilakukan. Saya saat itu sbg 2nd author.
PS:
  1. Urutan author adakalanya berdasarkan abjad authornya, misalnya paper di Physical Review D
    https://asnugroho.wordpress.com/2010/04/17/jumlah-konvensi-urutan-author-sebuah-paper/

 

Iklan

Tentang Anto Satriyo Nugroho

My name is Anto Satriyo Nugroho. I am working as research scientist at Center for Information & Communication Technology, Agency for the Assessment & Application of Technology (PTIK-BPPT : Pusat Teknologi Informasi & Komunikasi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi). I obtained my doctoral degree (Dr.Eng) from Nagoya Institute of Technology, Japan in 2003. My office is located in Serpong, Tangerang Selatan City. My research is on pattern recognition and image processing with applied field of interests on biometrics identification & development of computer aided diagnosis for Malaria. Should you want to know further information on my academic works, please visit my professional site at http://asnugroho.net
Pos ini dipublikasikan di research. Tandai permalink.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s