Absen memakai biometrik -adakalanya- rumit (ada ekstraksi fitur, pemadanan, standarisasi, asynchronous vs synchronous, dsb), mahal dan kadang bermasalah. Jadi teringat waktu masih awal masuk BPPT, awal 95, absen-nya sistem “ceklok”. Kartu absensi yang dimasukkan ke mesin pencetak tanggal & waktu. Waktu pulang pun seperti itu juga. Tapi cara seperti ini bisa diakali dg menitipkan dsb. Akhirnya berganti ke sistem biometrik yang rumit, mahal dan kadangkala masih bermasalah. Dewasa ini, sistem absensi biometrik semakin populer dan dipakai di perkantoran dan sekolah.
Sama halnya dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Awalnya mudah. Tapi karena banyak penyimpangan, akhirnya memakai sistem KTP elektronik yang mahal dan tidak mudah. Sepertinya karakter manusia-nyalah yang menyebabkan solusi yg seharusnya sederhana, jadi mahal dan rumit.
Saya ingat, masyarakat di Jepang tidak punya kartu semacam KTP. Penduduk hanya mencatatkan ke kecamatan tanpa merekam data biometrik sama sekali. Kalau butuh surat keterangan alamat, tinggal ke kecamatan dan diterbitkan surat untuk ybs. Atau bisa juga memakai kartu asuransi sebagai bukti identitas diri. Tapi akhir-akhir ini Jepang juga mulai memakai “mainamba” untuk memberikan nomer identitas penduduk di Jepang. Jaman sudah berubah.