Forensik

Saya suka mengikuti cerita Dr. Stephanie “melihat” yang tidak semua orang lihat di youtube [1]. Beliau menceritakan pengalamannya selama bertugas sebagai dokter forensik yang sering melakukan otopsi. Kalimat bahasa Indonesia yang dipakai sangat bagus, dalam menjelaskan berbagai kisah misteri yang dihadapi waktu melakukan tugas. Tidak semua orang berani melakukan otopsi.

Saya masih ingat waktu membantu Polri ke Papua untuk riset Scientific Crime Investigation. Saya tertarik melihat dua karung di ruang mayat. Penjelasan petugas, itu berisi potongan-potongan tubuh yang ditemukan. Saya ditawarkan untuk melihatnya, tapi teman-teman dari Polri tidak ingin melihat. Sebenarnya saya ingin melihat proses identifikasi biometrik yang dilakukan, memakai MAMBIS (Mobile Automated Multi-biometric Identification System). Mestinya dari jari bisa ditemukan identitasnya dalam hitungan detik, dengan menempelkan jari pada papan pemindaian. Jari (potongan jari) dipindai, citra-nya diekstrak karakteristiknya (minutiae dsb) dan dimatchingkan lewat internet dengan data biometrik KTP-el Dukcapil. Kemudian identitas ybs apabila ditemukan, langsung ditampilkan pada perangkat MAMBIS. Alat ini dimiliki Bareskrim Polri. Saya pernah ukur, waktu yang diperlukan dari menempelkan jari hingga tampil identitas sekitar 15 detik. Proses ini berlangsung dengan baik, dengan asumsi jari masih bisa dipindai dan karakteristik individu dapat tampil dengan bagus. Masalah menjadi makin sulit, apabila jarinya sudah tidak bagus kualitasnya, atau penduduknya belum terekam identitasnya di program KTP-el.

Bedah mayat forensik merupakan pekerjaan menantang di bidang kedokteran. Di Jepang dulu teman saya cerita, kalau salah satu pekerjaan yang ditawarkan untuk arubaito (part time) membersihkan ruangan setelah selesai bedah mayat dilakukan. Gajinya cukup tinggi, tapi karena tidak kuat jadi tidak berani mengambil pekerjaan tersebut.

Dari sisi riset, saat ini saya tertarik dengan post-mortem human iris recognition [2][3]. Studi yang dilakukan cukup “menantang nyali”, karena menganlisa selaput pelangi orang yang sudah meninggal. Pada foto di paper tersebut ditampilkan selaput pelangi dari sejak meninggal sampai 25 hari setelah meninggal. Suatu riset yang memerlukan ketabahan hati.

Referensi

  1. https://www.youtube.com/@dokterstephanie
  2. Post-mortem human iris recognition, Mateusz Trokielewicz, Adam Czajka and Piotr Maciejewicz, 2016 International Conference on Biometrics (ICB). https://ieeexplore.ieee.org/document/7550073
  3. Iris Recognition after Death, Mateusz Trokielewicz, Adam Czajka and Piotr Maciejewicz, IEEE Transactions on Information Forensics and Security, Volume: 14, Issue: 6, June 2019

Tentang Anto Satriyo Nugroho

My name is Anto Satriyo Nugroho. I am working as research scientist at Center for Information & Communication Technology, Agency for the Assessment & Application of Technology (PTIK-BPPT : Pusat Teknologi Informasi & Komunikasi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi). I obtained my doctoral degree (Dr.Eng) from Nagoya Institute of Technology, Japan in 2003. My office is located in Serpong, Tangerang Selatan City. My research is on pattern recognition and image processing with applied field of interests on biometrics identification & development of computer aided diagnosis for Malaria. Should you want to know further information on my academic works, please visit my professional site at http://asnugroho.net
Pos ini dipublikasikan di research. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar