Alya-Tika-Ibu sore ini melihat video di youtube ttg anak yang lolos beasiswa ke AS. Anak tersebut sekarang melanjutkan studi di Massachusetts Institute of Technologyy (MIT) [1]. Saya turut merasakan kebahagiaannya, karena bisa melanjutkan perjuangannya dengan beasiswa ke luar negeri (LN). Hal yang mirip dengan yang saya alami dulu [2]. Ketika lulus SMA kemudian mendapat beasiswa Pak Habibie, melanjutkan studi ke LN. Bedanya, dulu belum ada internet sehingga informasi yang kami terima mengenai peluang studi tersebut sangat sedikit. Saya dapat informasi adanya beasiswa itu pada saat kelas 3 SMA. Bahkan keinginan melanjutkan studi ke LN tidak saya sampaikan ke P Habibie langsung, padahal saat itu di Jerman sudah dipanggil dan duduk di sebelah pak Habibie, ngobrol dengan beliau (saat mengikuti International Mathematical Olympiad) [3]. Saya belum tahu tips-trick-nya Sekembali ke Indonesia untung saya bisa lolos UMPTN ke ITB, dan kemudian lolos seleksi beasiswa ke LN dari Pak Habibie. Saya dulu juga tidak mengikuti bimbel untuk ujian masuk ke PT. Saya les biasa saja, untuk subject Fisika ke Pak Jon, Kimia ke Bu Sum dan Bahasa Inggris ke Bu Indriati. Dua yang pertama guru saya di SMAN 1, sedangkan ketiga guru di SMAN 3 Surakarta. Kalau dipikir langkah yang saya ambil terlalu banyak resiko-nya, dan tidak untuk ditiru Alya dan Tika. Semoga anak-anak belajar dari banyaknya video dan informasi di internet agar bisa lebih mudah dalam melanjutkan studi ke perguruan tinggi yang diinginkannya.
Tadi saat beli sarapan di nasi gandul, ada seorang kakek yang ingin mencoba nasi gandul juga. Beliau duduk di sebelah saya, melihat kaos yg saya pakai. “Eh, koq SMP 2 ?” Saya jawab, “Injih Pak. Saya dulu SMP 2”. Beliau bertanya lagi : “Lulusan tahun berapa, mas ?” Saya jawab : “1986”. Terus beliau cerita “Saya dulunya juga SMP 2. Tapi waktu itu kami masih di Mangkunegaran. Saya lulus tahun 1972.”
Senang bertemu dengan senior di warung. SMP 2 yang saya ingat, dulu sangat sederhana. Lampunya di pagar ditutupi “lodhong” kaca. Depannya banyak sawah. Kalau pagi ke sekolah naik sepeda dari rumah dan udaranya segar. Udara pedesaan. Tapi sekarang jalanan sudah demikian ramai, beda dengan jaman dulu.
Hari ini saya mengisi seminar yang diselenggarakan oleh Huawei dan Binus. Pembicaranya ada beberapa orang : Pak Hammam Riza (Kepala BPPT), Randal Wang Feng (Huawei), saya dan pak Teguh Prasetya (IoT). Yang saya sampaikan adalah kegiatan litbangjirap di bidang biometrik dan machine learning. Agar lebih fokus, saya beri judul “Biometrics : Research, National Standards and Technical Services”. Ada tiga hal yang saya sampaikan : kegiatan riset di laboratorium biometrik PTIK-BPPT, keterlibatan saya dalam penyusunan standar untuk produk biometrik dengan skema adopsi identik, dan layanan teknologi untuk industri dalam negeri. Skema ketiga paparan tersebut terlihat pada Gambar 1 berikut
Gambar 1 KTP elektronik : dari hulu ke hilir, dari kegiatan litbang hingga layanan bagi masyarakat
Dalam kegiatan penelitian, kami mulai dari memahami cara kerja pengenalan sidik jari, pemanfaatannya untuk proses penunggalan (deduplikasi). Sehingga kami mulai dapat memahami teknologi biometrik yang dipakai oleh para prinsipal. Sedangkan pengembangan standar ini ditujukan untuk pengaturan format penyimpanan titik minutiae sidik jari (titik percabangan dan titik perhentian), yang jumlahnya sekitar 64 titik di sidik jari kita. Kami bekerjasama dengan BSN melakukan adopsi identik terhadap ISO/IEC 19794-2, sehingga akhirnya diterbitkan sebagai SNI ISO/IEC 19794-2. Kebetulan juga dimuat dalam Permendagri No.76 tahun 2020 yang dipakai sebagai dasar pengujian kesesuaian reader KTP elektronik. Sejak tahun 2020, kegiatan litbangjirap kami beralih fokus ke pengenalan wajah.
Gambar 2 Pengaturan format penyimpanan data minutiae sidik jari pada chip KTP elektronik
Saya memberikan paparan sekitar 30 menit. Kemudian di akhir presentasi, saya diminta menyampaikan pertanyaan. Semacam quiz sederhana. Pertanyaan saya : “Apakah ada kemungkinan seseorang kesulitan absensi dengan sidik jari ? Apa sebabnya ? Bagaimana solusinya ?”
Pernyaan ini sederhana, tapi banyak yang menjawab ada juga yang menyambung dengan pertanyaan lanjutan. Jawabannya : bisa saja, seseorang tidak dapat absen dengan sidik jari. Penyebabnya macam2, antara lain jari kotor, luka, dan berbagai kasus yang lain yang menyebabkan jari tidak bisa dikenali. Komentar rekan-rekan antara lain (nama saya hapus):
ada kalo jarinya sedang terluka mungkin pak
ada luka dijari tangan pak
ada kemungkinan karena perubahan struktur kulit dan penuaan ..atau ada luka di tangannya , maka perlu solusi beberapa alternative
ada, jari mengalami luka atau basah keringat
ada, penyebabnya bias dikarenakan oleh perubahan bentuk sidik jari atau dalam beberapa kasus ada orang yang tidak memiliki sidik jari. dan untuk solusinya bisa menggunakan deteksi wajah, mata, atau suara
Bisa tdk terdeteksi, krn jarinya lecet
kecelakaan pak pada tangan
kulitnya terkelupas
mungkin pak, karena sidik jari bisa hilang, atau tidak terdeteksi.. solusinya absensi second pk code
solusinya bisa menggunakan wajah atau memasukkan pin
ibu hamil
cara alternatif dengan jari alternatif yg sebelumnya sudah discan
karena biasanya ada bbrp tipe orang (bs dari bbrp profesi) memiliki tipe goat figer ( sidik jari rusak akibat pemakaian sehari2)
Beberapa pertanyaan juga saya terima. Antara lain:
Apakah fungsi dari biometric dapat dimanfaatkan untuk masyarakat dari segi lain, misalnya pada saat pemilu, validasi dokumen, validasi pembayaran, dsb?
Pak Anto apakah ada dataset standard yang dipublish ? shg bias digunakan utk research lanjutan
Banyak pendapat yang muncul ini membuat saya merasa senang. Artinya audience sudah memahami pentingnya biometrik dan masalah yang mungkin mereka hadapi. Saya juga mendapat masukan dari Pak Teddy Sukardi : pentingnya 1) multi factor authentication dan 2) “exception handling procedures”. Jawaban beliau merangkum hal-hal penting. Yang pertama perlunya pemakaian multi factor untuk otentikasi (bisa berbasis what you have dan what you know), serta pentingnya prosedur untuk menangani kasus-kasus khusus. Jangan sampai biometrik (dalam contoh ini : sidik jari) dianggap sebagai solusi yang sempurna, tanpa memperhitungkan berbagai error yang mungkin terjadi.