Penulisan gelar yang bikin repot

Tradisi penulisan gelar berlainan di tiap negara. Jepang misalnya, tidak ada kebiasaan mencantumkan gelar dalam kehidupan sehari-hari, kecuali dalam lingkungan akademis. Itu pun dibatasi pada penulisan CV, nama penulis pada buku, dan beberapa kesempatan tertentu saja. Lain Jepang, lain Indonesia. Di Indonesia, gelar sah-sah saja -malah jadi semacam tradisi- dipakai di SIM, KTP, mengisi formulir, dsb. Cara penulisannya pun bermacam-macam. Yang umum adalah mencantumkan semua gelar yang pernah diperoleh, mulai dari S1 s/d S3. Dengan cara tsb. nama saya akan ditulis sbg. “Dr. Anto Satriyo Nugroho, B.Eng, M.Eng”. Walau penulisan ini lazim, tetapi saya pribadi merasa risih karena terlalu panjang. Biasanya saya tulis “Dr. Anto Satriyo Nugroho”, atau “Anto Satriyo Nugroho, Dr.Eng”. Cukup gelar terakhir saja. Saya tidak memakai “PhD”, melainkan “Dr.Eng”, karena memang gelar yang diberikan di ijazah S3 versi bahasa Inggris eksplisit tertulis “Doctor of Engineering”. Setahu saya, gelar inilah yang lazim diberikan kepada lulusan dari Jepang (untuk fak.teknik, tentunya), walaupun ada juga yang memberikan gelar “PhD”, atau “PhD in bidangspesialisasinya“. Mengacu aturan pemerintah, kalau di Indonesia yang dipakai adalah yang tertulis di ijazah. Ada juga kebiasaan untuk mencantumkan gelar S2 disamping S3, untuk membedakan dengan mereka yang langsung meraih gelar S3 tanpa S2. Dengan begitu, penulisan di atas menjadi “Dr. Anto Satriyo Nugroho, M.Eng”. Atau kalau tidak ingin disalahtafsirkan dengan “dokter”, lebih baik untuk doktor ditulis sebagai “DR”.

Penulisan gelar kadang menimbulkan konsekuensi administratif yang merepotkan. Saat mengurus akta kelahiran Alya, setelah jadi ternyata nama saya tercantum di akta dengan gelar S2. Penyebabnya aturan penulisan nama mengharuskan nama orang tua tercantum di akta kelahiran anak mengacu kepada buku nikah. Padahal saat saya menikah tahun 2000 dulu saya baru lulus S2. Repotnya, nama saya tercantum dengan gelar S2 tsb. di buku nikah. Dulu tidak terfikir bahwa hal tsb. akan berimplikasi panjang, mungkin sampai seumur hidup. Saya tanyakan, kenapa koq yang dijadikan acuan justru buku nikah, bukannya KTP yang jelas lebih uptodate. Kata petugas, memang peraturan yang mengharuskan demikian, yang jadi referensi adalah buku nikah. Sebenarnya ada option untuk tidak mencantumkan gelar di akta kelahiran anak, dan untuk itu hanya perlu tanda tangan saja. Kesalahan saya yang kurang teliti dan tidak mengambil option tsb., sehingga nama yang tercantum di akta Alya, sebenarnya kurang pas.

Pengalaman di atas membuat saya berhati-hati saat nama akan dicantumkan pada kartu identitas, dsb. Saya sering minta agar nama ditulis lengkap tanpa gelar. Sering ada pertanyaan “Koq gelar nggak ditulis ? Kan sudah capek-capek untuk meraihnya”. Ya memang untuk meraihnya capek sih, tetapi tidak lantas saya harus memakainya dalam setiap kesempatan kan ? Kalau untuk urusan pekerjaan, saya tetap memakainya menyesuaikan dengan tradisi di Indonesia. Tetapi kalau untuk hal-hal pribadi, lebih baik tidak saya cantumkan.

Tentang Anto Satriyo Nugroho

My name is Anto Satriyo Nugroho. I am working as research scientist at Center for Information & Communication Technology, Agency for the Assessment & Application of Technology (PTIK-BPPT : Pusat Teknologi Informasi & Komunikasi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi). I obtained my doctoral degree (Dr.Eng) from Nagoya Institute of Technology, Japan in 2003. My office is located in Serpong, Tangerang Selatan City. My research is on pattern recognition and image processing with applied field of interests on biometrics identification & development of computer aided diagnosis for Malaria. Should you want to know further information on my academic works, please visit my professional site at http://asnugroho.net
Pos ini dipublikasikan di Indonesiaku. Tandai permalink.

22 Balasan ke Penulisan gelar yang bikin repot

  1. Ersis W. Abbas berkata:

    Ha ha ha … hal klasik. Aku pakai kalau terpaksa aja. Kalau ala Indonesia, pakai ‘gelar haji’ segala (padahal ngak ada ijasahnya he he)

  2. aling berkata:

    hehehehe iya juga…kebanyakan akhirnya bingung mau nulis gimana, syukur-syukur kotak tulisan yang disediakan cukup……….coba kalo enggak…yach dah back to nature ajalah…..nggak punya apa-apa….hehehehe….salut buat bapak dan salam kenal

  3. Lalita berkata:

    Seumur2 punya cita2 nggak mau nulis gelar di undangan pernikahan, apa daya ternyata harus nyerah sama kemauan calon mertua..

    Alesanku bahwa “urusan menikah itu nggak ada hubungannya dengan jenjang pendidikan kita, tapi berhubungan erat dengan Yang Maha, yang mana pada saat kita lahir dan mati nanti gelar nggak dibawa2..”, ternyata nggak mempan… Yah well.. Maaf ya Pak Anto, numpang melepas gemasss!!

  4. Ardi berkata:

    Saya sampe sekarang ngga ngerti kenapa gelar tuh PENTING sekali untuk dibeberin semuanya, seperti contohnya ada orang yang menulis (bukan nama sebenarnya):
    Prof. Dr. Ir. Boneng Tulkiyem Phd, MSc, BE.

    Padahal menurut saya cukup ditulis Prof. Boneng Tulkiyem aja, karena kalo seseorang sudah mendapatkan gelar “Profesor” sudah pasti dia ada gelar Doktor, Master, dan Bachelor. yang lucunya lagi kalo di depan ada “Dr. (Doktor)” dan di belakang ada “PhD (Doctor of Philosophy)” yang intinya dua2nya sama.

    Tanya kenapa…

  5. %Ardi
    Professor sebenarnya bukan gelar. Kalau tempo dulu, untuk jadi professor tidak harus bergelar doktor. Di Jepang, saya punya teman yg menjabat sbg. professor, walaupun beliau tidak bergelar doktor. Masalah penulisan itu memang tradisi saja, sih. Sulit untuk dibilang mana yg benar, mana yg salah. Tapi memang lazimnya di dunia internasional orang cukup menuliskan gelar terakhir yg diperoleh, dan itupun pada saat diperlukan saja.

  6. dinie berkata:

    gara-gara penulisan gelar, saya yang beberapa kali menjadi panitia penyelenggara seminar harus nyetak ulang sertifikat buat peserta yg gelarnya salah ketik. haiyah… sedih kaleee… ngabisin kertas sama tinta aja hehe

  7. Efendi Arianto berkata:

    Mas Anto,

    Kaidah penulisan GELAR AKADEMIK di Indonesia sudah diatur melalui
    SK Menteri DIK NAS NO 178/U/2001 TENTANG GELAR DAN LULUSAN PERGURUAN TINGGI.

    Kerancuan penulisan gelar profesional Dokter (dr.) dengan gelar akademik Doktor (Dr.) antara lain bisa dibaca di http://tonang.staff.uns.ac.id/memahami-gelar-dokter/2006/06/06/

    Negara kita nampaknya agak terlambat menata hal ini, karena dulunya pendidikan kita mengacu ke sistem pendidikan Belanda, makanya dulu ada gelar Ir., Drs/Dra, yang dituliskan di depan nama.

    Menurut hemat saya, penulisan nama di berbagai kartu identitas, KTP, SIM, kartu NPWP, termasuk surat nikah, mestinya tidak perlu mencantumkan berbagai gelar. Gelar akademik, perlu dituliskan untuk berbagai kepentingan yang bersifat akademik, misalnya di modul perkuliahan, bahan seminar, buku, dsb. Gelar profesi, seperti dokter dan pengacara, seharusnya ditampilkan untuk kepentingan profesi yang terkait, misalnya papan nama dokter, atau kartu nama.

    Salam,
    Efendi Arianto

  8. blendust berkata:

    WAH ANAK INDONESIA PINTER PINTER YA

  9. Heri P berkata:

    Cara / aturan yg baku penulisan gelar akademik lebih dri 1 bgmana?

  10. hfa berkata:

    saya juga ngga’ suka nulis gelar walau sudah dapat dua, mudahan karena ikhlas dalam menuntut ilmunya, bukan mencari gelarnya, kalo naik haji nanti (mudahan) juga ga’ ada niatan untuk ditulis di depan nama. Nanti kalo dapat Alm baru boleh dipasang, he..he..

  11. Ryu berkata:

    100% setuju
    memang klo dapet gelar tu harus susah payah, demo ga’ harus dipampang di blakang nama
    bagus juga nama asli ‘kan malah merakyat
    tada no hito nya ^-^

  12. Ardiansyah berkata:

    Saya setuju dengan penggunaan Gelar dalam konteks akademik saja. Dan itu pun cukup ditulis gelar terakhir. Untuk yg sudah Guru Besar dan peraih gelar Doktor/Ph.D, maka cukup ditulis Prof. Dr. Nama Lengkap, atau Prof. Nama Lengkap, Ph.D. Karena profesor bukan merupakan gelar akademik, sehingga disandingkan dengan gelar terakhirnya.

  13. Asti berkata:

    Ya saya setuju tuh, ga usahlah tulis gelar-gelaran. Yang pentingkan orangnya bukan gelarnya…………

  14. muhlis berkata:

    Penulisan Gelar S2 Kenotarisan

  15. Abu Wahabi berkata:

    Izin share ya Pak Anto. Kebetulan masalah penulisan gelar ini sedang menggelitik saya.

  16. anto berkata:

    Jadi ingat dengan undangan dari dekan fakultas kedokteran di makassar dulu, dia cuma menuliskan di bawah undangan kawinan anaknya “Irawan Yusuf sek.” tanpa gelar sama sekali padahal beliau seorang haji, seorang dokter, professor dan guru besar yang S3nya diambilnya di Jepang. Sungguh sangat sederhana dan beda dari kebanyakan orang.

  17. Asep awaludin berkata:

    Ada juga malah yang gelar double degree yang akhir akhir ini marak malah menjadi, M.Si, M.Sc dan karena meneruskan strata 3 melalui double degree juga maka ditulislah Dr. dan dibelakang tetap ada Ph.D… anehnya banyak lho yang bangga dengan mencantumkan semua embel embel tersebut siapa tahu ada yg mengira 2 tahun kali 2 untuk master dan 3 tahun kali 2 untuk doktor. jenius benar nih orang 🙂

  18. totok berkata:

    Saya mau menanyakan penulisan gelar akademik. Bagaimana menurut peraturannya jika ada seorang yang mempunyai gelar dengan satu bidang disiplin ilmu yang sama. Misalnya dia bergelar sarjana S1 dari bidang pendidikan, kemudian melanjutkan ke bidang pendidikan lanjutan pasca sarjana S2. Apakah penulisan S1 nya menjadi hilang (ditiadakan) atau tetap bisa menempel di nama. Contohnya : Amad Suparto, S.Pd, Mpd. Bagaiamana idealnya untuk menulis namanya dengan gelar dibelakangnya.

  19. Sasono berkata:

    tidak usahlah mencantumkan gelar utk di masyarakat…biasa saja, kecuali pada situasi-2 temu ilmiah yg memang memerlukan kodefikasi bidang keilmuan kita… Doktor yang sudah tidak riset lagi apakah akan tetap doktor di bidangnya ? Tapi memang sih, ada pengalaman waktu disopiri oleh seorang lulusan S3 dan melanggar rambu lalin (terjadi di suatu kota kecil), petugas memberhentikan kami, lalu terlihat petugas keder, dan melepaskan kami setelah mengucapkan kata gemetar ” oh, Bapak doktor ya”…. 😀 (batin saya: “lho kok takut ama S3 sih ?” ) …Fenomena yg menarik di Indonesia, pencantuman S3 di ID kemasyarakatan (SIM, KTP, dll) bisa mengamankan hidup kita…. 😀 Meskipun S3 itu di bidang keteknikan, yg tak ada hubungannya dgn kemasyarakatan…

  20. Nurhadi BS berkata:

    Kalau kita tidak mencantumkan gelar kita, padahal kita punya gelar malah perlu di pertanyakan
    1. mungkin gelar itu di dapat dengan tidak sewajarnya
    2. mungkin malu kalau berbuat macam-macam
    3. mungkin biar bebas berbuat tanpa gelar, karena kalau berbuat macam-macam sementara di KTP/SIM ada gelarnya kan jadi malu
    silahkan para pembaca memilih cara masing-masing

  21. pay berkata:

    terlalu njelimet… gara gara gelar .. pernah musuhan sama tetangga .. nulis undangan untuk acara musholah ..karana gelarnya yang puanjang seperti babaranjang saya tiadakan … eh undangan di kembalikan dan ngk di tegur 1 bulan..wxwxwxwxwx ( padahal ada tetangga juga yg punya gelar lebih bergengsi . malah menyarankan gelar beliau jangan pernah di tulis jika undangan bukan menyangkut akademik )

  22. eternia berkata:

    Aku juga sering kali tidak tulis gelar untuk diri ku sendiri. Geli aku waktu ketemu orang yang mengomel karena gelarnya tidak ditulis. Dan banyak loh, bukan satu dua orang. Indonesia, oh Indonesia.

Tinggalkan komentar